Selasa, 05 April 2016

Ubah Lelah menjadi Lillaah

Lelah? pastii..
namun ketika hati mengatakan jangan..
langkah kaki yang kian panjang pun menolak
tak ingin kembali berbalik dan setia berdiam diri
lelah ini cukuplah begini, tak apa jika bertambah lagi
yang terpenting untuk saat ini,
ALLAAH is always with me..

Jumat, 15 Januari 2016

Alhamdulillah.... Yeyeyeyey... Libuuuuurrr

Bismillah....
Libur telah tiba, libur telah tiba, hatiiikuuu gembira...
Macam anak kecil aja yah ane... wkwk, ^_^ gapapa lah sekali-sekali ye..
Akhrinya libur juga nih bro n sist, nggak kerasa aja ya semester 3 udah berlalu..
dag-dig-dug serrr gitu eh, nunggu Kartu Hasil Studi niiih....
libur sih iya, tapi pikiran nggak bisa move on nih dari yg namanya kampur gitttuuu...
ya eya, orang nilai belum ada... 
ane sih kemarin bilan "say goodbye for semester 3"
eh temen kos ane nyeletuk, "Belum selesai nid, nilai kita belum keluar"
etdah, jadi kepikiran nilai kan...
wkwkw... udah ah, curhatnya bikin aneh-aneh aja... gak penting sh sebenarnya, tapi karena ane udah lammmmaaa... gk ngepost, nih ane post wlopun cuma cuap-cuap... dah ya, Wassalamu'alaikum

Jumat, 25 Desember 2015

DAMPAK WESTERNISASI TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DIKALANGAN PESERTA DIDIK



Westernisasi adalah perubahan atau perilaku seseorang yang meniru budaya kebarat-baratan, sehingga menilai budaya tersebut lebih baik dibandingkan budaya Negara sendiri. Budaya barat tidak hanya menghinggapi orang dewasa, tetapi juga terhadap remaja. Serangan pemikiran barat bekerja dengan cara yang lihai,  terselubung dan mematikan (swift, silent and deadly), sehingga masyarakat tanpa sadar menerima budayanya. Banyak factor yang menyebabkan remaja dapat dengan mudah menyerap budaya barat. Factor tersebut tersebut terbagi menjadi dua, yaitu factor internal dan factor eksternal. Factor internal didasari oleh semangat remaja yang tinggi dalam aktivitas yang mereka gemari, sehingga menimbulkan rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka condong mempraktekkan metode coba-coba padahal belum mengetahui secara pasti tentang hal-hal yang akan diikutinya. Akibatnya bukan hal positif yang didapat, tetapi lebih banyak dampak negatifnya. Faktor eksternal antara lain keluarga, lingkungan, pergaulan, perkembangan teknologi, dan media massa.
Saat ini pengaruh budaya barat tidak hanya menyerang cara berpakaian, pergaulan, serta gaya hidup, tetapi juga didalam pendidikan. Baik itu di pendidikan umum, atau pada pendidikan berbasis keagamaan . Didalam masalah ini, kita akan membahas dampak westernisasi terhadap pendidikan berbasis keagamaan di kalangan peserta didik. Banyak hal yang telah berubah seiring dengan perkembangan zaman, salah satunya pelajaran serta ekstrakurikuler yang dikembangkan di Sekolah. Pelajaran dan kegiatan yang berssifat umum lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang berbau keagamaan. Dapat kita lihat pada sekolah-sekolah yang berada di daerah perkotaan, lebih mementingkan pelajaran yang berlevel internasional dibandingkan kegiatan keagamaan. Pelajaran agama islam dianggap sebagai materi yang sangat membosankan, menyia-nyiakan waktu. Sedangkan di daerah pedesaan, masyarakat mudah terpengaruh dengan hal-hal baru yang mereka dapatkan. Meski begitu, proses penyerapan lebih lambat daripada masyarakat perkotaan.
                        Selain itu, adab dan nilai-nilai kesopan semakin terkikis dengan hadirnya nilai-nilai baru yang dicerminkan oleh budaya barat. Materi-materi agama yang seharusnya dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi istiqomah untuk dijalani. Sebab lebih disibukkan oleh banyaknya aktivitas baru yang dijadikan sebagai tuntunan dan tuntutan. Ada banyak hal yang sangat di zaman ini begitu miris dipandang mata, salah satunya adalahkewajiban berjilbab yang di zaman dewasa ini tidaklah lagi dijadikan hal yang wajib. Berjilbab karena kewajiban sekolah, berjilbab karena menyukai lelaki yang alim, berjilbab karena ikut-ikutan teman, dan masih banyak lagi. Alhasil, sekolah selesai jilbabpun usai. Untuk itulah, keluarga dan lingkungan sangat berperan penting dalam hal ini,  orang tua dan sekolah diharapkan dapat memberi pelajaran-pelajaran yang tidak hanya berupa materi, tetapi juga pengamalan yang serius karena begitu penting serta daruratnya kepribadian muslim dan muslimah diera westernisasi ini.  

DEMOKRASI di INDONESIA



A.    SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI
1.      Sejarah Perkembangan Demokrasi di Barat
                 Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan hokum di Yunani kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 SM. Demorasi yang dipraktikan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung (direct democracy) artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara berdasarkan prosedur mayoritas.
                 Gagasan demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad pertengahan. Masyarakat abad pertengahan dicirikan oleh struktur masyarakat yang feudal, kehidupan spiritual dikuasai oleh Paus dan penjabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan di antara para bangsawan.
                 Menjelang akhir abad pertengahan, tumbuh kembali keinginan menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna Charta (Piagam besar) sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John di Inggris merupakan tonggak baru kemunculan demokrasi empiric. Dalam Magna Charta ditegaskan bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus (Preveleges) bawahannya. Selai itu, piagam itu juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar : pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja, kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.
                 Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di dunia Barat adalah gerakan renaissance (gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno) dan reformasi. Gerakan ini lahir di Barat karena adanya kontak dengan dunia Islam yang ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan peradaban ilmu pengetahuan. Para ilmuwan Islam pada masa itu seperti Ibnu Khaldun, Al-Razi, Oemar Khayam, Al-Khawarizmi, dan sebagainya bukan hanya berhasil mengasimilasikan pengetahuan Parsi Kuno dan warisan klasik (Yunani Kuno), melainkan berhasil menyesuaikan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan alam pikiran mereka sendiri. Karena itu, seorang orientalis, Philip K. Hitti menyatakan bahwa dunia Islam telah memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dan perkembangan Eropa melalui terjemahan-terjemahan terhadap warisan Parsi dan Yunani Kuno dan menyeberangkannya ke Eropa melalui Syiria, Spanyol dan Sisilia. Negara-negara tersebut merupakan arus penyeberangan ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat.[1]
                 Peristiwa lain yang mendorong timbulnya kembali gerakan demokrasi di Eropa yang sempat tenggelam pada abad pertengahan adalah gerakan reformasi yaitu suatu gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja Katolik. Hasil dari gerakan reformasi adalah adanya peninjauan terhadap doktrin gereja katolik yang berkembang menjadi protestanisme. Sebelum gerakan reformasi ini muncul, kekuatan gereja begitu dominan dalam menentukan tindakan warga Negara pada masa itu. Karena itu segala hal ditentukan gereja.
                 Kecaman dan dobrakan terhadap absolutisme monarki dan gereja pada masa itu didasarkan pada teori rasionalitas sebagai “social contract” (perjanjian masyarakat) yang salah satu asasnya menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh hokum yang timbul dari alam (natual law) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal, berlaku untuk semua waktu dan semua orang, baik raja, bangsawan, maupun rakyat jelata. Dengan demikian, teori hokum alam merupakan usaha untuk mendobrak pemerintahan absolute dan menetapkan hak-hak politik rakyat dalam satu asas yang disebut demokrasi (pemerintahan rakyat). Dua filsuf besar yaitu John Locke dan Mostesquieu telah memberika sumbangan yang besar bagi gagasan pemerintahan demokrasi. John Locke (1632-1704) mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup atas hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberal, property); sedangkan Mostesquieu (1689-1944) mengungkapkan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui “trias politica”-nya, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan yaitu legislative, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri secara merdeka.[2]
                 Pada kemunculannya kembali di Eropa, hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi manusia secara individu merupakan tema dasar dalam pemikirna politik (ketatanegaraan). Untuk itu, timbullah gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintahan melalui pembuatan konstitusi, baik yang
Tertulis maupun yang tidak tertulis. Di atas konstitusi inilah batas-batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak-hak politik rakyat, sehingga kekuasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan perlemen dan lembaga-lembaga hokum yang kemudian dinamakan konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan.
                 Salah satu ciri penting pada Negara yang menganut konstitusionalisme (demokrasi konstitusional) yang hidup pada abad ke-19 itu adalah sifat pemerintah yang pasif, artinya, pemerintah hanya menjadi pelaksana sebagai keinginan rakyat yang diperjuangkan secara liberal (individualisme) untuk menjadi keputusan parlemen. Dalam konsep konstitusionalisme atau demokrasi konstitusional abad ke-19 ini disebut Negara Hukum Formal (klasik). Dalam klasifikasi yang oleh Arif Budiman didasarkan pada criteria kenetralan dan kemandirian Negara, konsep demokrasi konstitusional atau Negara hokum formal ini bisa disebut sebagai Negara Pluralisme, yaitu Negara yang tidak mandiri, yang hanya bertindak sebagai penyaring berbagai keinginan dair interest-group dalam masyarakatnya. Dalam Negara pluralis yang berlangsung libertarian ini setiap kebijaksanaan yang dikeluarkan bukanlah atas inisiatif yang timbul dari kemandirian Negara, melainkan lahir dari proses penyerapan aspirasi masyarakat secara penuh melalui parlemen.
                 Demokrasi, dalam gagasan baru ini harus meluas mencakup dimensi ekonomi dengan sistem yang daoat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan berusaha memperkecil perbedaan social dan ekonomi, terutama harus mampu mengatasi ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Gagasan baru ini biasanya disebut sebagai gagasan welfre state atau “Negara Hukum Material” (dinamis) dengan ciri-ciriyang berbeda-beda dengan dirumuskan dalam konsep Negara Hukum Klsik (formal). Pemerintah welfare state diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan. (Besturzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi Negara dalam menjalankannya. Pemerintah dalam rangka Besturzorg ini diberikan kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri, tidak hanya bertindak atas inisiatif parlemen. Itulah sebabnya kepada pemerintah diberikan Fries Ermessen atau “Pouvoir discretionnair”, yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan social dan keleluasaan untuk selalu terikat pada produk legislasi parlemen.
2.      SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
          Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang-surut (fluktuasi) dari masa kemerdekaan sampai saat ini. Dalam perjalanan bangsa dan Negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai situasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dari segi waktu dibagi dalam empat periode yaitu : a. Periode 1945-1959, b. Periode 1959-1965, c. Periode 1965-1998, d. Periode 1998-sekarang.
a.      Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indoenesia. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstuktif kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer di mana badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai Kepala Negara konstitusional (constitutional head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik usia cabinet pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional.
Di samping itu ternyata ada beberapa kekuatan social dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam kenstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai “rubber stamp presiden” (Presiden yang membubuhi capnya belaka) dan tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Factor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak mempunyai anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsesus mengenai dasar Negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
b.      Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Ciri-ciri periode ini adalah dominasi dari Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsure social politik. Dekrit Presiden 5 juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dairi kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 memberi kesempatan bagi Presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi, ketetapan MPRS. No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup telah “membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-Undang Dasar memungkinkan seorang pemimpin untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Selain daripada itu banyak lagi penyelewengan tentang ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya pada tahun 1960, Ir. Soekarno sebagai Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.[3]
c.        Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Landasan formil dari periode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta ketetapan-ketetapan MPRS. Ketetapan MPRS yang menetapkan masa jabatan seumur hidup bagi Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan Presiden kembali menjadi jabatan efektif setiap lima tahun. Ketetapan MPRS No, XIX/1966 telah menentutak ditinjaunya kembali produk-produk legislative dari masa Demokrasi Terpimpin dan atas dasar itu Undang-Undang No. 19/1964 telah diganti dengan suatu Undang-Undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali azas “kebebasan badan-badan pengadilan”. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong diberi beberapa hak control, disamping ia tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah.
Beberapa perumusan tentang Demokrasi Pancasila sebagai berikut :
a.       Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali azas-azas Negara hokum dan kepastian hokum.
b.      Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga Negara.
c.       Demokrasi dalam bidan hokum pada hakekatya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Secara umum, dapat dijelaskan bahwa watak demokrasi pancasila tidak berbeda dengan demokrasi pada umumnya. Karena demokrasi pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi poitik yang sama semua rakyat. Untuk itu, pemerintah patut memberikan perlindungan dan jaminan bagi warga Negara dalam menjalankan hak politik.
            Namun demikian “Demokrasi Pancasila” dalam rezim Orde Baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada tataran praktis atau penerapan. Karena dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan rezim ini sangat tidak memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi. Seperti dikatakan oleh M. Rusli Karim bahwa orde baru ditandai oleh :
1.      Dominannya peranan ABRI;
2.      Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik;
3.      Pengebirian peran dan fungsi partai politik;
4.      Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan public;
5.      Masa mengambang;
6.      Monolitisasi ideology Negara;
7.      Inkorporasi lembaga non pemerintah;
          Ketujuh ciri tersebut menjadikan hubungan Negara versus masyarakat secara berhadap-hadapan dan subordinat, dimana Negara atau pemerintah sangat mendominasi. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi juga belum ditegakkan dalam demokrasi Pancasila Soeharto.
d.      Demokrasi dalam Orde Reformasi (1998-sekarang)
            Runtuhnya rezim otoriter orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirny reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis, karena fase ini akan ditentukan ke mana arah demorasi yang akan dibangun. Sukses atau tidaknya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat factor kunci, yaitu : (1) komposisi elite politik, (2) desain institusi politik, (3) kultur politi atau perubahan sikap terhadap di kalangan elite dan non elite , dan (4) peran civil society (masyarakat madani). Oleh karena itu, dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa langkah yang harus dilakukan dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup tiga reformasi dalam tiga bidang besar (Azyumardi Azra, 2002).[4] Pertama, reformasi sistem (constitutional reform) yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaan (institutional reform and empowerment) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politk. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis.[5]
            Dalam bahasa Larry Diamond, “Dibalik transisi, elite politik memiliki pengaruh besar dalam menentukan apakah demokrasi baru menjadi stabil, efektif, dan terkonsolidasi”. Perilaku para elite politik menjadi contoh bagi non-elite dalam membentuk kultur politik. Dalam sebuah demokrasi yang terkonsolidasi, para elite mengakui sistem legitimasi dan memperlihatikan kepercaayaan mereka terhadap demokrasi dengan cara bekerja untuk memajukan agenda-agenda politik dalam kerangka institusi-institusi demokrasi, mereka menerima kekalahan tanpa mengutak-atik legitimasi innstitusi-institusi tersebut. Para elite yang tidak menghormati institusi demokrasi, harus disingkirkan agar demokrasi terkonsolidasi.
Menurut Azyumardi Azra, setidaknya ada empat prasyarat yang dapat membuat pertumbuhan demokrasi menjadi lebih memberi harapan. Pertama, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Semakin sejahtera ekonomi sebuah bangsa, maka semakin besar peluangnya untuk mengembangkan dan mempertahankan demokrasi. Kedua, pemberdayaan dan pengembangan kelompok-kelompok masyarakat yang favourable bagi pertumuhan demokrasi seperti “kelas menengah”, LSM, para pekerja dan sebagainya.[6]
B.     KARAKTERISTIK DEMOKRASI
                                    Dalam tulisan yang berjudul Demokrasi, Hukum, dan Perlindungan HAM, Ipong S. Azhar mengatakan bahwa pada pasca perang dunia II, demokrasi telah berkembang menjadi sesuatu yang universal dan diperlakukan sebagai symbol peradaban modern oleh bangsa-bangsa di dunia. Dengan mendunianya demokrasi ini, ada semacam kewajiban tak tertulis bagi Negara-negara di seluruh dunia untuk mencantumkan label demokrasi di dalam format politik yang dimilikinya (Ipong S. Azhar, 1996,1).[7] Karena itu Negara-negara di seluruh dunia ini mencantumkan serta mengklaim bahwa sistem politik yang dibangunnya mendasarkan pada nilai-nilai demokrasi. Tak kurang dari Negara totaliter, absolute, monarki, dan Negara-negara baru seperti di kawasan Asia dan Afrika.
                        Demokrasi sebagai suatu konsep yang saat ini telah mendunia seperti yang dikatakan Giovanni Sartori, seratus persen merupakan produk barat. Karena itu nilai-nilai, pandangan, dan cara hidup Barat tidak dapat dipisahkan dari konsep demokrasi seperti  individualisme, kapitalisme, dan liberalisme. Karena itu ketika demokrasi diadopsi oleh Negara-negara non Barat yang secara kultura dan ideologis berbeda dengan barat untuk diterapkan sebagai sistem dan tatanan nilai politik, seringkali menimbulkan problem. Menurut Ipong, untuk masalah tersebut paling tidak ada dua cara, Pertama, demokrasi disesuaikan dengan nilai, pandangan dunia dan cara hidup masyarakat setempat yang harus menyesuaikan dengan yang dimiliki oleh Barat.[8]
          Sedangkan J. Rolland Pennock membagi demokrasi ke dalam empat corak, yaitu : demokrasi individualisme, demokrasi utilitarianisme (teori kepentingan), teori hak dan kewajiban dan kolektivitas demokrasi (dalam Rusli Karim, 1998;7).[9] Demokrasi individualisme menekankan pada keseimbangan antara pelaksanaan hak dan kewajiban pada setiap individu dalam menjalankan kehidupan sebagai warga Negara. Kolektivitas demokrasi menekankan pada kebersamaan dan kekeluargaan dalam berdemokrasi.
Selanjutnya, demokrasi dilihat dari segi praksis menurut John Dunn berbentuk demokrasi perwakilan yang merupakan bentuk demokrasi modern yang paling sesuai. Demokrasi perwakilan sendiri terbagi dalam dua model, yaitu demokrasi perwakilan langsung dan demokrasi perwakilan tidak langsung. Sedangkan Sklar mengajukan lima corak atau model demokrasi, yaitu :
1.      Demokrasi Liberal, yaitu peerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum bebas, yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg. Banyak Negara Afrika yang menerapkan model ini dan hanya sedikit yang bisa bertahan.
2.      Demokrasi Terpimpin. Para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya rakyat. Segala hal terpusatkan pada pemimpin yang didapatkan pada pemilihan umum yang bersaing untuk menduduki kekuasaan.
3.      Demokrasi Sosial, yang menaruh kepedulian pada keadilan social dan egalitarianism bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik.
4.      Demokrasi Partisipasi, menekankan hubungan timbale-balik antara penguasa dan yang dikuasai.
5.      Demokrasi Konstitusional (consociational), menekankn penegakn aturan dan ketentuan dalam menjalankan kepentingan politik.
C.    HAKIKAT DEMOKRASI
Demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat, baik dalam penyelenggaraan Negara maupun pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal, yaitu : pertama, pemerintah dari rakyat (government of the people); kedua, pemerintah oleh rakyat (government by people); ketiga, pemerintah untuk rakyat (government for people).
Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate government) dan pemerintah yang tidak sah dan tidak diakui (unlegitimate government) dimata rakyat. Pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate government) berarti suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan yang diberikan oleh rakyat. Sebaliknya, pemerintahan yang tidak sah dan tidak diakui (unlegitimate government) berarti suatu pemerintahan yang sedang memegang kendali kekuasaan tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Legitimasi bagi suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya. Pemerintahan dari rakyat memberikan gambaran bahwa pemerintahan yang sedang memegang kekuasaan dituntut kesadarannya bahwa pemerintahan tersebut diperoleh melalui pemilihan dari rakyat, bukan dari pemberian wangsit atau kekuasaan supranatural.
Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by people). Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat bukan atas dorongan diri dan keinginannya sendiri. Selain itu, juga mengandungan pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintahan berada dalam pengawasan rakyatnya. Karena itu pemerintah harus tunduk kepada pengawasan rakyat (social control). Pengawasan rakyat (social control) dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung yaitu mealui perwakilannya di parlemen (DPR). Dengan adanya pengawasan oleh rakyat (social culture) akan menghilangkan ambisi otoriterisme para penyelenggara Negara (pemerintah dan DPR).
Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people) mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah itu dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat harus didahulukan dan diutamakan di atas segala-galanya. Untuk itu pemerintah harus mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi rakyat dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan dan program-programnya, bukan sebaliknya hanya menjalankan aspirasi keinginan diri, keluarga dan sekelompoknya. Oleh karena itu, pemerintah harus membuka kanal-kanal atau saluran dan ruang kebebasan serta menjamin kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat alam menyampaikan aspirasi baik melalui media pers maupun secara langsung.
D.    AGAMA DAN DEMOKRASI
                                    Revolusi, ujar Lenin (1902), harus dimulai oleh teori revolusi. Tanpa konsep revolusi yang jelas, sebuah gerakan politikhanya menjadi huru-hara yang tidak memiiki arah. Adalah konsep revolusi yang membimbing sebuah gerakan revolusioner. Ia memberi platform tentang apa yang substansial dan mana yang harus diubah. Konsep revolusi pula yang menjadi basis penilaian, apakah gerakan politik dapat dipandang berhasil atau gagal.[10]
                        Salah satu isu yang paling penting sejak dasawarsa abad kedua puluh lalu adalah isu demokratisasi. Di antara indicator yang jelas dari kepopuleran tersebut adalah berlipat gandanya jumlah Negara yang menganut sistem peerintahan demokratis. Namun demikian, ditengah prosesdemokratisasi yang terjadi di belahan dunia, dunia islam sebagaimana dinyatakan oleh para pakar seperti Larry Diamond, Juan J. Linze, Seymour Martin Lipset tidak mempunyai prospek untuk menjadi demokratis serta mempunyai pengalaman demokrasi yang cukup. Hal senada juga diungkapkan oleh Samuel P. Huntington yang meragukan ajaran islam sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi (Bahtiar Effendy, Kata Pengantr, 2002).[11] Karena itu dunia Islam dipandang tidak menjadi bagian dari gemuruhnya proses demokratisasi dunia. Dalam bahasa Abdelwahab Efendi (pemikir Sudan) “angin demokratisasi memang berhembus ke seluruh penjuru dunia, namun tak satupun daun yang dihembusnya sampai ke dunia muslim” (Mun’im A. Sirry, 2002).[12] Dengan demikian pendapat pesimisme berkaitan pertumbuhan dan perkembungan demokrasi di dunia islam. Berdasarkan pemetaan yang kemukakan oleh John L. Esposito dan James P. Piscatory (Sukron Kamil, 2002).[13]
                        Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam merupakan sistem politik yang Self Sufficient. Hubungan keduanya bersifat mutually exclusive. Islam dipandang sebagai sistem politik alterrnatif terhadap demokrasi. Dengan demikian, Islam dan Demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena iru demokrasi sebagai konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
                        Kedua, islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara procedural seperti dipahmi dan dipraktikkan di Negara-negara maju (Barat), sedangkan Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secra substantive, yakni kedaulata rakyat di tangan rakyat dan Negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara rokoh dari kelompok ini adalah al-Maududi, Rasyid al-Ghanaoushi, Abdul Fattah Morou dan Taufiq asy-Syawi. Di Indonesia diwakili oleh Moh. Nasir dan Jalaludin Rahmat.
                        Ketiga, islam adalah agama yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan Negara maju. Di Indonesia, pandangan yang ketiga tampaknya yang lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan Negara-negara muslim lainnya (R. William Liddle dan Saiful Mujani; 2008).[14] Diantara tokoh dalam kelompok ini Fahmi Huwaidi, al-‘Aqqad, M. Husain Haekaat, Zaakria Abdul Mun’im Ibrahim, Robert N. Bellah dan sebagainya. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholish Majid (Cak Nur), Amien Rais, Munawir Syadzali, A. Syafi’i Ma’arif, dan Abdurrahman Wahid.
                        Ada beberapa alasan teoritis yang bisa menjelaskan tentang lambannya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi (demokratisasi) di dunia Islam. Pertama, pemahaman doctrinal menghambat praktek demokrasi. Teori ini dikembangkan oleh Elie Khodouri bahw “gagasan demokrasi masih cukup asing dalam mind-set Islam.” Hal ini disebbabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan islam. Untuk mengatasi hal itu perlu dikembangkan upaya liberalisasi pemahaman keagamaan dalam rangka mencari consensus dan sintesis antara pemahaman doktrin Islam dengan teori-teori modern seperti demokrasi dan kebebasan.
                        Kedua, persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di Negara-negara muslim sejak paruh pertama abad dua pulu tapi gagal. Tampaknya ia tidak akan sukses di masa-masa mendatang, karena warisan cultural masyarakat (komunitas) muslim sudah terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan pasif. Teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis dan Ajami. Karena itu, lanngkah yang sangat diperlukan adalah penjelasan cultural bahwa kenapa demokrasi tumbuh subur di Eropa, tetapi di wilayah dunia islam malah otoritarianisme yang tumbuh dan berkembang.
                        Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Sejarah perkembangan demokrasi terbagi menjadi dua, yaitu pada masa perkembangan di Barat dan masa perkembangan di Indonesia.
2.      Sejarah perkembangn demokrasi di Barat diawali berbentuk demokrasi yang berlangsung berakhir pada abad pertengahan,. Menjelang akhir abad pertengahan, lahir Magna Charta dan dilanjutkan munculnya gerakan renaissance dan refformasi yang menekankan pada adanya hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak memiliki. Selanjutnya pada abad ke 19 muncul gerakan demokrais konstitusional, dari demokrasi konstitusional melahirkan demokrasi welfare state. Sedangkan pada perkembangan demokrasi di Indonesia dibagi menjadi empat babak. Yaitu Demokrasi Parlementer (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Demokrasi Pancasila (1965-1998), dan Demokrasi dalam Orde Reformasi (1998-sekarang).
3.      Kajian tentang karakteristik demokrasi dapat dilihat dari aspek ide atau gagasan dan dari segi praksis. Dari segi ide, demokrasi terdiri dari model demokrasi liberalis-kapitalis, demokrasi sosialis, demokrasi islam dan demokrasi pancasila.
4.      Hakikat demokrasi mengandung tiga pengertian, yaitu pemerintah dari rakyat (government of the people), pemerintah oleh rakyat (government by people), dan pemerintah untuk rakyat (government for people).
5.      Dengan menggunakan parameter yang sangat sederhana, pengalaman empiric demokrasi hanya bisa ditemukan selama pemerinrahan Rasulullah sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh empat sahabatya, yaitu Abu Bakar as-siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, yang dikenal dengan zaman khulafa al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat sahabat tersebut, menurut catatan sejarah sangat sulit ditemukan demokrasi di dunia Islam secara empiric sampai saat ini.


[1] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 126.
[2] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 126.

[3] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 130.
[4]  Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 135.

[5] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 135.
                                                                                                                               


[6] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 139.
[7] Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta; PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), hal. 191.
[8] Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta; PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), hal. 192.
[9] Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta; PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), hal. 192.
[10] Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, dkk., Buku Suplemen Pendidikan Kewarganegaraan, Civic Education, (Jakarta; Prenada Media, 2004), hal. 91.
[11] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 141.
[12] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 141.
[13] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 142.
[14] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyaratak Madani, (Jakarta; ICCE UIN Syarif Hidayatullah, The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), hal. 142.